Laman

Senin, 19 Juli 2010

Kebutuhan Pokok

Kenaikan Kebutuhan Pokok
Harga sejumlah kebutuhan pokok terus melambung. Di berbagai daerah, harga cabai (merah keriting, merah besar, rawit), bawang (merah, putih, dan prei), minyak goreng, gula, beras, dan daging ayam terus melonjak. Cabai merah keriting di sejumlah daerah, seperti Lampung dan Bengkulu, harganya naik mencapai Rp 60.000 per kg. Padahal, pekan sebelumnya masih berkisar antara Rp 24-40 ribu per kg (Republika, 6/7/2010).

Diperkirakan, harga-harga kebutuhan pokok ini masih akan terus melambung. Pertama, imbas kenaikan tarif dasar listrik. Meskipun kecil, kenaikan tarif listrik rata-rata 10 persen per 1 Juli lalu, akan membawa dampak ikutan yang luas. Salah satunya, naiknya harga input produksi. Hasil akhirnya adalah naiknya biaya produksi. Namun, alasan ini tidak sepenuhnya bisa diterima. Sebab, kenaikan kebutuhan pokok sudah terjadi sejak Juni lalu. Harus ada faktor penjelas lain yang lebih valid dan lebih sahih.

Kedua, penyimpangan cuaca masih akan berlangsung beberapa bulan ke depan. Menurut perkiraan BMKG, kemarau basah seperti saat ini akan berlangsung sampai November nanti. Itu artinya, kasus intensitas hujan di atas rata-rata masih terus terjadi di sejumlah daerah. Bagi daerah-daerah sentra produksi hortikultura, penyimpangan ini sama artinya dengan bencana. Gagal panen di sejumlah daerah, seperti dilaporkan media, adalah konsekuensi yang tidak bisa dihindari. Sesuai hukum ekonomi, ketika pasokan berkurang sementara permintaan tetap, membuat harga kebutuhan pokok terkerek naik.

Ketiga, ketidakseimbangan supply-demand itu dimanfaatkan pihak-pihak tertentu untuk mengeruk keuntungan. Para pihak-pihak ini, karena posisinya yang dominan, bisa mengeksploitasi keadaan. Siapakah mereka? Tentu bukan petani. Yang paling mungkin adalah pihak-pihak yang terlibat dalam proses distribusi komoditas yang dihasilkan petani. Distribusi terkait erat dengan pergerakan komoditas dari tangan produsen hingga ke konsumen. Aktivitas ini melibatkan banyak pihak, mulai dari produsen, pedagang atau perusahaan yang bergerak dalam usaha pengumpulan (assembling/collecting), pedagang besar (wholesaler), pedagang pengecer, serta konsumen pemakai/pengguna produk.

Masalahnya, proses distribusi sering kali tidak berjalan mulus. Antara lain, ditandai oleh masih adanya disparitas harga antarwilayah yang relatif tinggi dan fIuktuasi harga yang belum terkendali. Di kawasan timur Indonesia dan tempat-tempat terpencil, fluktuasi harga cukup signifikan. Fluktuasi juga terjadi saat kebutuhan melonjak, seperti hari raya keagamaan (Idul Fitri dan Natal) dan tahun baru. Selain itu, musim juga memengaruhi harga lewat pertemuan supply-demand.

Masalah distribusi juga terkait dengan sarana dan prasarana distribusi yang kurang memadai, kondisi geografis yang berpulau-pulau, sentra produksi yang tidak merata, koordinasi pelaksanaan distribusi yang belum lancar, margin distribusi yang tidak proporsional, aneka pungutan liar, dan adanya posisi dominan pihak tertentu.

Sistem distribusi dianggap efisien apabila memenuhi dua syarat. Pertama, mampu menyampaikan hasil-hasil dari produsen ke konsumen dengan biaya serendah-rendahnya. Kedua, mampu mengadakan pembagian yang adil dari keseluruhan harga yang dibayarkan konsumen akhir kepada semua pihak yang ikut serta dalam kegiatan produksi dan distribusi barang tersebut sesuai peran masing-masing. Bila hanya syarat pertama yang terpenuhi, yaitu mampu menyampaikan barang dengan biaya serendah-rendahnya, tetapi pembeli atau penjual hanya satu orang (monopsoni atau monopoli), perusahaan akan bisa menekan harga pembelian dari produsen. Akibatnya, produsen menerima harga yang relatif rendah.

Hal ini menunjukkan bahwa jika biaya tata niaga rendah, tetapi pembagian yang terjadi tidak adil, tidak dapat dikatakan memenuhi syarat tata niaga yang efisien. Tata niaga dapat dikatakan efisien apabila kedua syarat tersebut terpenuhi.

Distribusi memiliki peran penting agar komoditas tertentu yang diproduksi produsen yang diinginkan konsumen tersedia dan diperoleh dalam bentuk, waktu, dan jumlah yang tepat. Ketika tiga syarat tersebut dipenuhi, dampaknya cukup banyak, salah satunya stabilitas harga komoditas. Isu instabilitas harga kebutuhan pangan pokok, seperti beras, gula, dan minyak goreng jadi masalah rutin bagi warga dan pemerintah. Instabilitas harga terjadi berulang hampir setiap tahun. Instabilitas itu telah menguras tenaga, pikiran, dan biaya yang tidak kecil. Padahal, berbagai kajian menunjukkan peran penting stabilitas harga pangan karena biaya sosial-politik instabilitas pangan sangat tinggi (Janvry, 1995; Timmer, 2003).

Instabilitas harga kebutuhan pokok dapat menurunkan tingkat efisiensi penggunaan sumber daya dan memicu gejolak makroekonomi serta politik. Kejatuhan Soekarno dan Soeharto, dalam batas-batas tertentu, terjadi karena gejolak harga pangan. Kemampuan sebuah rezim dalam menyediakan penghidupan yang layak bagi warga akan menentukan situasi sosial-politik. Reformasi telah mengubah peran pemerintah di satu sisi dan peran sektor swasta, warga sipil, dan dunia internasional di sisi lain. Tapi, sistem ekonomi nyaris tak berubah. Di sisi lain, peran pemerintah kian menciut, diikuti naiknya peran swasta dan warga sipil. Menguatnya daya tawar rakyat vis a vis negara yang lemah mestinya mengubah struktur ekonomi dan pemerataan. Namun, logika itu tak terjadi. Kaum kapitalis kian sulit diatur. Sebaliknya, lembaga pengemban pelayanan publik (bulog, sekolah, rumah sakit, PLN, Pertamina) dipreteli tugasnya atau diprivatisasi.

Yang terjadi kemudian, pemerintah kian lumpuh dalam memenuhi kebutuhan pokok. Ketika fungsi kian menciut, peran pemerintah-salah satunya-bisa difokuskan pada stabilisasi harga kebutuhan pokok. Di saat anggaran terbatas, tentu tidak bijaksana meniru Malaysia yang menstabilkan 32 jenis kebutuhan pokok. Pemerintah telah menetapkan empat pangan pokok (beras, gula, terigu, dan minyak goreng) sebagai sasaran stabilisasi. Apakah pilihan empat komoditas ini tepat? Tentu, perlu pendalaman serius. Pilihan mestinya didasari penting-tidaknya komoditas tersebut bagi konsumen, produsen, dan kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi (makro). Sebuah rezim yang ingin langgeng dan stabil tentu tidak akan menyia-nyiakan peran penting stabilitas pangan.

Sumber: Republika (Khudori)

Baca Juga Artikel Terkait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar