Laman

Rabu, 21 Juli 2010

Kelangsungan Program Konversi ke LPG

Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki cadangan gas alam terbesar di dunia, yang tentunya hal ini dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi bagi rakyat. Berdasarkan data Kementerian ESDM (2009), Indonesia memiliki cadangan gas alam sebesar 159,63 TCF (trillion cubic feet) dengan perincian 107,34 TCF merupakan proved reserved dan sebesar 52,29 TCF merupakan potential reserved.

Gas alam memiliki prospek yang lebih potensial dibandingkan minyak bumi. Selain karena cadangannya yang relatif besar, permintaan terhadap gas alam juga sangat tinggi. Di luar negeri, permintaan LNG kini terus meningkat, seperti dari Cina dan India sebagai bahan bakar pembangkit listrik, karena alasan ramah lingkungan. Demikian juga, dengan permintaan gas alam dari pembeli domestik.

Namun, perlu dipahami bahwa produksi gas di Indonesia kini juga telah memasuki masa mature-nya dan menurun lebih cepat dari yang diperkirakan. Sehingga, pemanfaatan cadangan gas alam menjadi penting untuk dikelola secara baik agar kebutuhan energi nasional tetap terpenuhi. Di samping tentunya, tetap melakukan berbagai langkah penghematan penggunaan energi yang berbasis minyak bumi.

Dari sinilah, dapat dipahami bahwa mengapa pada tahun 2007, pemerintah menggalakkan program konversi minyak tanah (mitan) ke LPG 3 kg. Bahan baku mitan berasal dari minyak mentah. Sementara itu, kita tahu bahwa cadangan minyak kita semakin menurun. Tidak hanya itu, kemampuan produksi minyak kita juga kini semakin rendah (kini kurang dari 1 juta barel per hari). Kini, posisi Indonesia juga bukan lagi sebagai net exporter, tetapi net importer minyak mentah sehingga Indonesia keluar sebagai anggota OPEC.

Melalui program konversi mitan ke LPG ini, diharapkan terjadi pemanfaatan energi alternatif yang lebih murah menjadi lebih optimal di satu sisi, di sisi lain juga dapat menghemat penggunaan sumber energi yang terbatas dan mahal. Dalam jangka panjang, semestinya banyak manfaat yang diperoleh dari program konversi mitan ke LPG ini. Pertama, diversifikasi penggunaan energi yang lebih optimal. Kedua, memaksimalkan manfaat ekonomi dari keberadaan sumber energi yang beragam. Ketiga, meringankan beban keuangan pemerintah akibat tingginya subsidi BBM sebagai akibat tingginya pembelian dan impor minyak mentah.

Namun, perlu dipahami bahwa ketika program konversi mitan ke LPG ini diluncurkan, sejatinya pasokan gas belum sepenuhnya dapat disediakan dari sumber domestik. Jelas tidak mudah mengatur kontrak jual beli gas dalam waktu yang begitu singkat, sementara gas domestik yang ada biasanya telah memiliki kontrak jual beli dengan pembeli tertentu, baik di dalam maupun luar negeri. Sehingga, pasokan gas untuk memenuhi kebutuhan program konversi ke LPG pun sebagian harus dipenuhi dari impor.

Dengan kondisi seperti itu, ternyata penghematan subsidi yang diperoleh cukup signifikan. Hingga Mei 2010, program konversi ke LPG telah mencapai sekitar 45 juta paket perdana kepada pengguna eks mitan dan masyarakat prasejahtera di 15 provinsi. Nilai penghematan subsidi sejak program konversi diberlakukan pertama kali tahun 2007 hingga April 2010 diperkirakan telah mencapai Rp 28,49 triliun (gross) atau bila setelah dikurangi dengan biaya paket perdana, nilai penghematannya diperkirakan mencapai Rp 17,9 triliun. Dengan kata lain, jika program konversi mitan ke LPG ini diikuti dengan pasokan gas domestik yang lebih besar, tentu nilai penghematan subsidinya bisa lebih besar lagi.

Selain pasokan gas, hal lain yang turut menjadi penentu kesuksesan program konversi ke LPG ini adalah kesiapan infrastruktur instalasi. Ini mengingat, untuk dapat memenuhi kebutuhan LPG yang begitu besar, tentu dibutuhkan instalasi LPG yang memadai, dan tentu hal ini membutuhkan waktu. Demikian juga, terkait dengan penyediaan tabung LPG berikut aksesorinya, seperti regulator, selang, dan kompor.

Program konversi ini tentunya juga tak luput dari kekurangan, termasuk munculnya beberapa kasus ekses negatif yang belakangan ini terjadi. Namun, tidaklah tepat bila program konversi ini menjadi kambing hitam. Juga tidaklah tepat bila kekurangan ini ditimpakan sepenuhnya kepada pelaksana program, dalam hal ini Pertamina.

Pemerintah juga terus mengembangkan sejumlah langkah penanganan lainnya dengan melibatkan banyak pihak. Sejatinya LPG 3 kg adalah merupakan barang ber subsidi, yang memiliki karakteristik sama dengan barang bersubsidi lainnya. Pada barang bersubsidi lainnya, pemerintah menerapkan regulasi yang ketat. Maka, hal yang sama juga dilakukan pa da pemanfaatan LPG 3 kg. Kini, pemerintah telah membentuk tim yang bertugas mengawasi pemanfaatan LPG 3 kg ini. Tidak hanya itu, pengawasan terhadap produksi tabung LPG 3 kg juga dilakukan secara ketat agar kua litas dengan Stan dar Nasional Indonesia.

Perlu diperhatikan pula sisi hilirnya, yaitu masyarakat pengguna LPG 3 kg. Sebagaimana kita ketahui, sasaran utama dari program konversi ke LPG 3 ini adalah kelompok masyarakat yang tidak mampu. Pada umumnya, mereka ini memiliki pemahaman yang kurang dalam pemanfaatan teknologi, seperti pada penggunaan tabung LPG 3 kg.

Pada umumnya, anggota ma sya rakat prasejahtera juga belum menganggap kegiatan penggan ti an aksesori LPG 3 kg se bagai prioritas. Padahal, aksesori LPG 3 kg merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan untuk menjamin agar penggunaan tabung LPG 3 kg tetap aman. Penulis mengusul kan kiranya perlu dipertimbang kan untuk memberikan paket aksesori LPG 3 kg setiap 2-3 tahun (sesuai dengan masa manfaat aksesori).

Kesimpulannya, kita tidak perlu memandang skeptis terhadap program konversi ke LPG ini. Faktanya, banyak manfaat yang diperoleh dari program ini. Bahkan, dalam jangka panjang, manfaat yang diperoleh dari program ini akan lebih maksimal lagi bila dibarengi dengan kesiapan pasokan gas domestik yang lebih besar. Tak kalah pentingnya, kita juga perlu mendorong agar masyarakat kita lebih banyak menggunakan BBM nonsubsidi. Ini mengingat, selain untuk menekan subsidi APBN, penggunaan BBM nonbersubsidi juga juga penting untuk mendukung kegiatan pengembangan sektor energi yang lebih maksimal.

Sumber: Republika (Sugiharto)

Baca Juga Artikel Terkait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar