Laman

Selasa, 20 Juli 2010

Mirip Mitra Amerika

Meski mendapat perhatian publik lebih kecil ketimbang masalah kenaikan harga kebutuhan pokok, ledakan gas elpiji, dan video mesum artis, perkembangan perundingan dan perumusan naskah Perjanjian Kemitraan Komprehensif (comprehensive partnership) antara Indonesia dan Amerika Serikat semakin menyentuh isu-isu sensitif, seperti kerja sama militer, posisi Kopassus TNI AD, kehadiran Peace Corps di Indonesia, kerja sama riset biomedis terkait NAMRU, terorisme, dan politik Islam.

Kemitraan Komprehensif AS-Indonesia disebut Gedung Putih dalam rilis tanggal 27 Juni 2010 mengalami kemajuan signifikan sejak pertengahan 2009.   Kedua negara meluncurkan program Peace Corps, kerja sama iptek dan OPIC (kerja sama pembiayaan sektor swasta), bahkan Kementerian Pertahanan AS dan Indonesia telah meneken perjanjian Penataan Kerangka Kerja untuk aktivitas-aktivitas pertahanan.

Terkait desakan kehadiran Peace Corps di Indonesia yang diinisiasi kembali sejak kunjungan Menlu Hillary Clinton pada Februari 2009, Pemerintah RI sempat mempertanyakan apakah kehadiran Peace Corps merupakan jalan terbaik meningkatkan hubungan dengan Amerika.   Jubir Kemlu RI Teuku Faizasyah menyatakan, "Kami tidak menolaknya, tapi kami harus memperjelasnya. Pada dekade 1960-an, kami mempunyai hubungan terbatas dengan Amerika. Tapi, sekarang segalanya terbuka." (Los Angeles Times, 17 Februari 2009).

Kehendak menghadirkan Peace Corps di Indonesia wajar dipertanyakan. Tidak seperti namanya, korps ini lebih dipandang sebagai perpanjangan tangan politik Washington dan agen-agen CIA/NSA. Niat awal pembentukan dan pengiriman "pasukan khusus" itu ke Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara lainnya di masa Presiden AS John F Kennedy adalah mencegah teori domino: jatuhnya satu negara ke rezim komunis akan mengimbas ke negara-negara tetangganya.

Selain itu, jika tujuan Peace Corps adalah untuk meningkatkan saling pengertian antarpenduduk Indonesia dan AS, seperti disebut Gedung Putih, tujuan itu tercapai dengan keterbukaan informasi melalui media massa, internet, diseminasi sarana pendidikan, tukar menukar pelajar, dan sebagainya. Globalisasi yang didorong Presiden Bill Clinton juga menguakkan Indonesia secara politik dan ekonomi.

Bahkan, Pemerintah AS sendiri yang menilai Indonesia adalah negara demokratis ketiga terbesar di dunia, sesudah AS dan India. Penduduk yang paling membenci Paman Sam justru adalah warga negeri-negeri yang perdamaiannya dirusak AS dan Inggris, seperti Irak, Afghanistan, dan Pakistan, termasuk Palestina yang dijajah 'amerika kecil', Israel.

Repotnya, berbeda dengan India yang menolak bantuan internasional ketika tsunami sekalipun, Indonesia membuka ruang terlalu lebar bagi relawan asing. Kehadiran rutin mereka dalam jangka panjang, seperti di Papua, memudahkan pelaksanaan agenda apa pun selain bantuan kemanusiaan. Dan, itu terbukti, baik dalam forum politik di AS, Australia, maupun Papua sendiri, seruan separatisme masih membahana. Apalagi, Peace Corps bisa hadir dengan beragam identitas, seperti guru bahasa Inggris, relawan sosial, pelatih basket, atau pengelola jaringan sosial macam Facebook dan Twitter.

Sekalipun demikian, AS memandang kemitraan komprehensif tersebut-dan ini perlu ditiru Indonesia-tidak lebih penting ketimbang kepentingan masyarakat dan sikap politik anggota parlemen AS. Ini tecermin dari surat keberatan 13 Anggota Kongres AS kepada Menlu Hillary Clinton dan Menhan Robert Gates tanggal 13 Mei 2010 atas rencana penandatanganan Perjanjian Kemitraan Komprehensif AS-Indonesia. Alasan mereka memang lagu lama: Detasemen 81 Kopassus TNI AD dituding melanggar HAM di masa lalu. Mereka menuntut para pejabat militer diadili dalam pengadilan sipil.

Sebenarnya, pemerintah dan DPR RI pernah membahas ide perubahan UU 31/1997 tentang Peradilan Militer. Tapi peme rintah dan pimpinan TNI belum menye tujui anggota TNI diproses hukum seperti warga sipil. Diduga petisi ini juga yang men dasari pembatalan kun ju ngan Presiden Barack Obama bulan Juni lalu.

Namun, persoalan yang terbawa ke-13 peneken petisi tadi masih bisa lebih mendalam. Soalnya, mereka antara lain, Howard Berman (pimpinan DPR AS), John F Kerry (senator Demokrat yang juga bekas capres AS yang dikalahkan Bush), Patrick J Leahy (penggagas Aturan Leahy yang sejak tahun 1997 melarang kerja sama militer penuh dengan TNI, terutama Kopassus dan dalam penjualan senjata mematikan/lethal weapon), dan Eni H Faleomavaega (anggota DPR AS yang tetap gencar mendorong pemisahan Papua).

Soal lembaga pengganti NAMRU-2 (unit AL AS untuk riset biologi), yaitu IUC (Indonesia USAID Center for Biomedical and Public Health Center), kriteria peneliti AS dan klausul keistimewaan yang dulu diberikan kepada peneliti NAMRU, seperti kekebalan diplomatik dan kebebasan bergerak di seluruh wilayah Indonesia, mekanisme transfer material, dan lain-lain juga belum terjelaskan kepada DPR RI dan publik. Padahal, itu tergolong kepentingan publik sebagaimana Pasal 2 Undang-Undang No 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.

Intinya, AS bersikap seolah-olah bermitra dengan Indonesia, tapi itu masuk dalam strategi taktik intervensi dan hegemoninya. Buktinya adalah laporan Deplu AS tentang pelaksanaan HAM Indonesia Tahun 2009 yang dipublikasikan tanggal 11 Maret 2010 atau menjelang rencana kedatangan Obama yang pertama. Mereka bukan saja mengkritik pembunuhan warga sipil oleh aparat, tapi juga pelaksanaan syariat Islam di Aceh, pengesahan UU Pornografi, bahkan pelarangan PKI dan Ahmadiyah.

Sumber: Republika

Baca Juga Artikel Terkait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar