Laman

Senin, 27 September 2010

Melacak Lahirnnya SKB Dua Menteri

Pro dan kontra Surat Keputusan Bersama (SKB) Dua Menteri kini terus bergulir. Menteri Dalam Negeri Gumawan Fauzi dan Menteri Agama Suryadarma Ali menegaskan bahwa SKB Dua Menteri itu masih diperlukan untuk dijadikan patokan ideal dalam mengatur kerukunan beribadah yang telah dirumuskan bersama oleh lintas agama.
Keduanya tidak melihat hal-hal yang perlu dilakukan perbaikan dan perubahan dalam SKB itu. Senada dengan kedua menteri tersebut, para alim ulama dan sebagian terbesar umat Islam di Indonesia tetap menginginkan agar SKB Dua Menteri itu dipertahankan tanpa perubahan.
Untuk menyelami mengapa sampai di keluarnya SKB Dua Menteri, sebaiknya kita kembali beberapa saat setelah terjadinya G30S/PKI. Berdasarkan pengalaman saya, sebelumnya tidak pernah terjadi konflik atau benturan antara Islam dan Kristen. Yang terjadi adalah konflik etnis dan penyebabnya masalah kesenjangan ekonomi.

Kita masih ingat keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) No 10/1957 yang melarang warga negara Tionghoa berdomisili dan berniaga di  daerah tingkat kecamatan.  Kala itu juga ada istilah Dwi Kewarganegaraan: Warga negara RI dan RR Cina. Dengan adanya PP 10/1957 ratusan ribu warga Cina meninggalkan Indonesia ke negeri leluhurnya.
Setelah terjadinya G30S yang mengakibatkan ganyang PKI di mana-mana, banyak warga Cina beralih menjadi Kristen. Mengapa demikian? Karena Baperki, organiasi keturunan Cina yang dituduh memihak PKI juga menjadi bulan-bulanan kemarahan massa.  Surat kabar Angkatan Baru, menyebutkan sekitar 250 ribu warga keturunan Cina masuk Kristen yang dikatakan untuk mencari perlindungan.
Kala itu, pihak misionaris Kristen banyak yang mendatangi kediaman-kediaman dengan dalih menawarkan buku-buku kesehatan yang isinya menyelipkan ajaran-ajaran agama. Kelompok ini memiliki dana cukup besar yang konon datang dari negara Barat.
Waktu itu terjadi isu-isu bahwa kelompok Kristen memberikan bantuan dengan memberikan sembako, di antaranya berupa indomie kepada rakyat miskin . Bantuan ini dituding sebagai upaya Kristenisasi. Akibatnya, reaksi dan pertentangan terhadap kegiatan ini terjadi di berbagai kota dan tempat di Tanah Air.
Di Jakarta, saya masih ingat sejumlah ulama dan habib bersuara keras terhadap apa yang mereka sebut usaha Kristenisasi. Termasuk KH Abdullah Syafe'ie, ulama besar Betawi yang dijuluki 'singa mimbar' bersuara keras di majelis-majelis taklim. 
Keadaan yang tidak nyaman dan adanya pertentangan cukup tajam antarumat beragama, membuat pemerintah ikut campur tangan agar kerukunan antarumat beragama di Indonesia tetap terjaga. Maka, keluarlah pertama kali SKB Dua Menteri No. 01/1969.SKB ini ditandatangani oleh Menteri Agama KH Mohamad Dahlan dari NU dan Mendagri Amir Machmud.
Sebelum SKB ini keluar diadakan pertemuan atau rapat yang dihadiri semua unsur agama termasuk Majelis Agung Wali Gereja Indonesia (MAWI) dan Dewan Gereja Indonesia (DGI) yang kini menjadi PGI. Musyarawah antarumat beragama ini dinamakan 'Kerukunan Nasional'. Ada sebuah surat kabar di Jakarta menyingkatnya dengan 'Keruk Nasi'. 
Lahirnya SKB Dua Menteri tahun 1969 antara lain berisi: 1. Bantuan luar negeri untuk kegiatan agama tidak boleh langsung, harus melalui Departemen Agama. 2. Membangun rumah ibadah harus ada persetujuan penduduk setempat.
Dengan dikeluarkannya SKB Dua Menteri (Agama dan Mendagri) kala itu, dimaksudkan sebagai petunjuk pelaksanaan kebebasan beragama dan menjalankan ibadah guna mencegah terjadinya benturan-benturan. Boleh dikata SKB 2 Menteri merupakan juklak dari UUD 1945 pasal 29 ayat 2 yang intinya mengenai kebebasan untuk melaksanakan agama.
Melihat awal dikeluarkannya SKB ini 41 tahun lalu, itu tidak dikeluarkan mendadak sontak. Jadi, mereka yang sekarang 'bekoar-koar' minta SKB ini dihapuskan seolah-olah ingin mengembalikan ke situasi yang membahayakan negara saat ia dikeluarkan dengan persetujuan lintas agama. Kemudian, SKB ini diperbaharui pada 2006. SKB No. 8 dan 9/2006 tentang pengaturan pendirian rumah ibadah.
Bukan rahasia lagi, bahwa di Eropa yang mayoritas penduduknya non-Islam sangat diskriminatif terhadap umat Muslim. Seperti ada negara yang melarang jilbab dan yang lebih fatal lagi azan pun tidak diperbolehkan. Hingga umat Islam mendatangi masjid berdasarkan perkiraan waktu tanpa mendengar suara azan. Masih banyak lagi diskriminasi terhadap Islam yang mereka lakukan.
Pemerintah kolonial Belanda selama berkuasa boleh dikatakan tidak membangun gereja di kampung-kampung. Apalagi di tempat mayoritas penduduknya beragama Islam. Mereka membangun tempat peribadatan dan kegiatan sosial keagamaan di jalan-jalan protokol. Mengapa demikian? Untuk menunjukkan bahwa Islam adalah agama kampung.
Kalau kita menelusuri jalan dari Istana sampai Jatinegara tidak ditemukan sebuah masjid pun. Istiqlal baru dibangun setelah Indonesia merdeka. Tapi jumlah gereja cukup banyak.Pemerintah kolonial ingin menunjukkan pada dunia luar bahwa Batavia memiliki banyak gereja dan umat Kristen.
Di Menteng keadaannya lebih parah lagi. Sebelum G30S tidak terdapat sebuah masjid pun di kawasan elite ini. Masjid  Sunda Kalapa, Cik Ditiro, dan Cut Nyadin baru dibangun setelah terjadinya G30S di antaranya atas inisiatif anak-anak muda HMI.
Alwi Shahab (Republika)

Baca Juga Artikel Terkait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar